Pagi ini entah ada kekuatan apa, ada
dorongan dari jemariku ini untuk menuliskan sebuah goretan indah di masa
lampau. Ya, ketika aku menuntut ilmu di Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Memang
aku bukan santri ‘mukim’ seperti santri yang lainnya, mereka menyebutku ‘santri
kalong’. Maklumlah aku tak menetap di pondok, hanya ikut belajarnya saja. Walau
begitu, jiwaku untuk setara dengan santri yang lain amatlah kuat.
Tepatnya setelah aku lulus SD dan
Madrasah, ayahku menyuruhku untuk menimba ilmu, dia berkata ‘ilmu akhirat dan
dunia itu harus seimbang, tuti sekarang masuk SMP jadi siang setelah pulangnya
bisa belajar di Pondok’, aku tercengang saat ayah dengan tegas berkata seperti
itu. Disisi lain, aku sebenarnya malu karna hanya aku satu-satunya yang bukan
santri mukim. Namun akhirnya di hari pertama aku diantarkan ayah menemui Kyai
pemilik pondok itu, yang tak lain adalah teman ayah semasa di Banten dulu.
Hari pertama, aku langsung belajar
bersama santri lainnya. Teringat sekali dalam benakku, pelajaran pertama yaitu
nahwu (semua ustadz menyebutnya ‘bapaknya ilmu’). Kemudian dilanjutkan dengan
kitab Durusul Fiqhiyah. Alhamdulillah disana aku diterima dengan baik dan
ramah.
Beberapa
hari berikutnya ada temanku ufi, aku bahagia sekali karena akhirnya aku tidak
sendirian yang menjadi santri kalong. Sahabatku dari SD juga ikut belajar di
pondok. Kemudian ada lagi sahabatku juga yang ikut belajar, Asep Mulyadi
namanya. Kami bertiga menghabiskan waktu dan belajar di pondok bersama. Tak
kenal panas dan tak kenal hujan, bermodal niat untuk Tholabul ‘ilmi. Sayangnya
selulus SMP, Ufi dan Mulyadi berhenti belajar di pondok. Aku cukup terluka
namun aku tetap semangat menjadi ‘santri kalong’ ditengah santri lainnya.
Teringat ketika salah satu ustadz
menyindirku. Dia berkata ‘Belajar itu harus ada bapak dan ibunya, kalau Cuma belajar
dr bapaknya aja tidak akan bisa’. Aku sadar sekali beliau sedang menyindirku,
maklumlah aku hanya belajar ilmu nahwu (bapaknya ilmu), dan aku tidak belajar ilmu
shorof (ibunya ilmu). Terang saja, pagi aku belajar di SMP, sekolah umum. Namun
aku membuktikan di Ujian Akhir, aku mendapat peringkat pertama diantara
santri-santri lainnya.
Setelah aku SMA, jadwalku mulai
padat dan karena semua santri seusiaku sudah kembali ke kampung halamannya.
Akhirnya dengan sangat berat, aku memutuskan untuk berhenti belajar di Pondok.
Selama kurun waktu 5 tahun aku belajar disana.
Bersyukur karena banyak yang baik
padaku, seperti K.H. Harun Sulaiman (pemilik Al-Muhajirin) bersama istrinya,
Ustadz Ade, Ustadz Bukhori, Ustadz Salman, Ustadz Masrukhan, Ustadz Soleh, dan
pengajar lainnya. Serta teman-teman di Pondok yang banyak berasal dari daerah
Banten. Terimakasih semua pengajar yang telah memberikan begitu banyak ilmu,
dari mulai ilmu tarikh, nahwu, fiqih, hadist, tajwid. Semua ilmu-ilmu yang
bermanfaat, kitab-kitab yang selalu membahas dari mulai yang kecil hingga yang
besar.