Rabu, 23 Januari 2013

Goretanku untuk Al-Muhajirin


       Pagi ini entah ada kekuatan apa, ada dorongan dari jemariku ini untuk menuliskan sebuah goretan indah di masa lampau. Ya, ketika aku menuntut ilmu di Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Memang aku bukan santri ‘mukim’ seperti santri yang lainnya, mereka menyebutku ‘santri kalong’. Maklumlah aku tak menetap di pondok, hanya ikut belajarnya saja. Walau begitu, jiwaku untuk setara dengan santri yang lain amatlah kuat.
  Tepatnya setelah aku lulus SD dan Madrasah, ayahku menyuruhku untuk menimba ilmu, dia berkata ‘ilmu akhirat dan dunia itu harus seimbang, tuti sekarang masuk SMP jadi siang setelah pulangnya bisa belajar di Pondok’, aku tercengang saat ayah dengan tegas berkata seperti itu. Disisi lain, aku sebenarnya malu karna hanya aku satu-satunya yang bukan santri mukim. Namun akhirnya di hari pertama aku diantarkan ayah menemui Kyai pemilik pondok itu, yang tak lain adalah teman ayah semasa di Banten dulu.
        Hari pertama, aku langsung belajar bersama santri lainnya. Teringat sekali dalam benakku, pelajaran pertama yaitu nahwu (semua ustadz menyebutnya ‘bapaknya ilmu’). Kemudian dilanjutkan dengan kitab Durusul Fiqhiyah. Alhamdulillah disana aku diterima dengan baik dan ramah.
Beberapa hari berikutnya ada temanku ufi, aku bahagia sekali karena akhirnya aku tidak sendirian yang menjadi santri kalong. Sahabatku dari SD juga ikut belajar di pondok. Kemudian ada lagi sahabatku juga yang ikut belajar, Asep Mulyadi namanya. Kami bertiga menghabiskan waktu dan belajar di pondok bersama. Tak kenal panas dan tak kenal hujan, bermodal niat untuk Tholabul ‘ilmi. Sayangnya selulus SMP, Ufi dan Mulyadi berhenti belajar di pondok. Aku cukup terluka namun aku tetap semangat menjadi ‘santri kalong’ ditengah santri lainnya.
           Teringat ketika salah satu ustadz menyindirku. Dia berkata ‘Belajar itu harus ada bapak dan ibunya, kalau Cuma belajar dr bapaknya aja tidak akan bisa’. Aku sadar sekali beliau sedang menyindirku, maklumlah aku hanya belajar ilmu nahwu (bapaknya ilmu), dan aku tidak belajar ilmu shorof (ibunya ilmu). Terang saja, pagi aku belajar di SMP, sekolah umum. Namun aku membuktikan di Ujian Akhir, aku mendapat peringkat pertama diantara santri-santri lainnya.
          Setelah aku SMA, jadwalku mulai padat dan karena semua santri seusiaku sudah kembali ke kampung halamannya. Akhirnya dengan sangat berat, aku memutuskan untuk berhenti belajar di Pondok. Selama kurun waktu 5 tahun aku belajar disana.
       Bersyukur karena banyak yang baik padaku, seperti K.H. Harun Sulaiman (pemilik Al-Muhajirin) bersama istrinya, Ustadz Ade, Ustadz Bukhori, Ustadz Salman, Ustadz Masrukhan, Ustadz Soleh, dan pengajar lainnya. Serta teman-teman di Pondok yang banyak berasal dari daerah Banten. Terimakasih semua pengajar yang telah memberikan begitu banyak ilmu, dari mulai ilmu tarikh, nahwu, fiqih, hadist, tajwid. Semua ilmu-ilmu yang bermanfaat, kitab-kitab yang selalu membahas dari mulai yang kecil hingga yang besar.