Minggu, 27 Januari 2013

Puisi B.J. Habibie untuk Ainun


         Banyak diantara kita yang sangat tahu mengenai sosok B.J. Habibie. Sosok yang sangat menginspirasi anak manusia, banyak biografi mengenai beliau sudah tersebar di beberapa toko buku. Namun kali ini saya tidak berbicara mengenai biografi beliau.
        Saya sempat berkaca-kaca dan hampir menitikkan air mata saat membaca surat untuk Ibu Ainun dari Pak Habibie. Berikut penggalan puisinya:
****************************************************************************************
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena aku tahu bahwa semua yang ada pasti mjd tiada pada akhirnya
Dan kematian adalah sesuatu yang pasti
Dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu
..
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat adalah
Kenyataan bhwa kematian benar2 dapat memutuskan kebahagiaan dlm  diri-
seseorang sekejap saja
Lalu rasanya mampu membuatku menjadi  nelangsa setengah mati
Hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku  serasa kosong  melompong, hilang isi.
..
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba2 hilang berganti  kemarau gersang
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang
Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau  ada
Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini
Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang.
Tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik
...
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku mendua, tapi kau
ajarkan aku kesetiaan sehinggga aku setia
Kau ajarkan cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini
Selamat jalan, Kau dariNya dan kembali padaNya
Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada
Selamat jalan sayang ,
Cahaya mataku, penyejuk jiwaku
Selamat jalan,
Calon bidadari surgaku

****************************************************************************************

Kamis, 24 Januari 2013

Dibalik nama 'Tuti Alawiyah'


    Mungkin terkesan terlalu terbuka sekali saat aku kini menceritakan bagaimana bisa orang tuaku memberiku nama ‘Tuti Alawiyah’, namun sekedar hanya untuk berbagi saja akan saya ceritakan.
       Tepatnya 28 September 1992. Ibuku yang tengah mengandungku 9 bulan akan melahirkanku (anak pertama), namun saat itu ayah tidak bisa mendampinginya karena ayah memiliki usaha di Jakarta. Senin malam itu, ayah diberitahu pihak keluarga di Cirebon kalau ibuku akan melahirkan. Segeralah ayah berkemas-kemas untuk pulang ke Cirebon.
      Didalam bus menuju Cirebon, disamping ayah ada seorang yang berkata pada ayah,”Sedang punya kerepotan yah Pak?’, ayahku menjawab ‘iya, istriku mau melahirkan’. Sosok laki-laki itu rupanya bisa meramal, dia bilang kalau aku akan lahir jam 10 malam dengan jenis kelamin laki-laki. Ayahku kurang percaya dengan ramalan itu dan ia biasa-biasa saja menanggapinya.
         Namun, saat diberi kabar kalau aku memang lahir pada jam 10, ayahku langsung mengira kalau perkataan laki-laki itu benar. Didalam bus, ayah mencari-cari nama bayi laki-laki, dan dia memilih nama ‘Yasir Arafat’, tokoh sejarah islam yang memukau. Ayah langsung senang dan tidak sabar melihatku.
    Setibanya di Cirebon, ayah kaget ternyata bayi yg ibu lahirkan itu berjenis kelamin perempuan. Langsung saja nama Yasir Arafat itu tidak terpakai. Ayah tetap senang melihatku. Selanjutnya ayah mencari-cari nama apa yg cocok untuk bayi perempuan. Ada seorang Kyai mengusulkan sebuah nama namun ayah tolak karena nama itu terlalu rumit. Akhirnya pilihan ayah jatuh pada nama ‘Tuti Alawiyah’.
        Pada tahun 1992 saat aku dilahirkan, tokoh Tuti Alawiyah sangat terkenal. Beliau adalah seorang penceramah, memliki pesantren, pernah menjabat sebagai Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan. Ayah memilih nama itu dengan harapan anaknya (aku) dapat menjadi orang besar seperti Tuti Alawiyah. Dalam bahasa Arab, Tuti memiliki makna ‘anak perempuan’ dan Alawiyah berarti ‘tinggi/luhur’. Berharap bahwa Tuti Alawiyah yang menjadi anak pertama ayahku dapat memiliki ilmu yang tinggi, budi yang luhur dan menjadi orang besar.
            

Rabu, 23 Januari 2013

Goretanku untuk Al-Muhajirin


       Pagi ini entah ada kekuatan apa, ada dorongan dari jemariku ini untuk menuliskan sebuah goretan indah di masa lampau. Ya, ketika aku menuntut ilmu di Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Memang aku bukan santri ‘mukim’ seperti santri yang lainnya, mereka menyebutku ‘santri kalong’. Maklumlah aku tak menetap di pondok, hanya ikut belajarnya saja. Walau begitu, jiwaku untuk setara dengan santri yang lain amatlah kuat.
  Tepatnya setelah aku lulus SD dan Madrasah, ayahku menyuruhku untuk menimba ilmu, dia berkata ‘ilmu akhirat dan dunia itu harus seimbang, tuti sekarang masuk SMP jadi siang setelah pulangnya bisa belajar di Pondok’, aku tercengang saat ayah dengan tegas berkata seperti itu. Disisi lain, aku sebenarnya malu karna hanya aku satu-satunya yang bukan santri mukim. Namun akhirnya di hari pertama aku diantarkan ayah menemui Kyai pemilik pondok itu, yang tak lain adalah teman ayah semasa di Banten dulu.
        Hari pertama, aku langsung belajar bersama santri lainnya. Teringat sekali dalam benakku, pelajaran pertama yaitu nahwu (semua ustadz menyebutnya ‘bapaknya ilmu’). Kemudian dilanjutkan dengan kitab Durusul Fiqhiyah. Alhamdulillah disana aku diterima dengan baik dan ramah.
Beberapa hari berikutnya ada temanku ufi, aku bahagia sekali karena akhirnya aku tidak sendirian yang menjadi santri kalong. Sahabatku dari SD juga ikut belajar di pondok. Kemudian ada lagi sahabatku juga yang ikut belajar, Asep Mulyadi namanya. Kami bertiga menghabiskan waktu dan belajar di pondok bersama. Tak kenal panas dan tak kenal hujan, bermodal niat untuk Tholabul ‘ilmi. Sayangnya selulus SMP, Ufi dan Mulyadi berhenti belajar di pondok. Aku cukup terluka namun aku tetap semangat menjadi ‘santri kalong’ ditengah santri lainnya.
           Teringat ketika salah satu ustadz menyindirku. Dia berkata ‘Belajar itu harus ada bapak dan ibunya, kalau Cuma belajar dr bapaknya aja tidak akan bisa’. Aku sadar sekali beliau sedang menyindirku, maklumlah aku hanya belajar ilmu nahwu (bapaknya ilmu), dan aku tidak belajar ilmu shorof (ibunya ilmu). Terang saja, pagi aku belajar di SMP, sekolah umum. Namun aku membuktikan di Ujian Akhir, aku mendapat peringkat pertama diantara santri-santri lainnya.
          Setelah aku SMA, jadwalku mulai padat dan karena semua santri seusiaku sudah kembali ke kampung halamannya. Akhirnya dengan sangat berat, aku memutuskan untuk berhenti belajar di Pondok. Selama kurun waktu 5 tahun aku belajar disana.
       Bersyukur karena banyak yang baik padaku, seperti K.H. Harun Sulaiman (pemilik Al-Muhajirin) bersama istrinya, Ustadz Ade, Ustadz Bukhori, Ustadz Salman, Ustadz Masrukhan, Ustadz Soleh, dan pengajar lainnya. Serta teman-teman di Pondok yang banyak berasal dari daerah Banten. Terimakasih semua pengajar yang telah memberikan begitu banyak ilmu, dari mulai ilmu tarikh, nahwu, fiqih, hadist, tajwid. Semua ilmu-ilmu yang bermanfaat, kitab-kitab yang selalu membahas dari mulai yang kecil hingga yang besar.